Jumat, 09 Mei 2014

Batarayani Damanik, Spiritualis Simalungun dari Bali

0 komentar





 

Batarayani Damanik

 

Wanita berdarah Indo – Australia ini tampak bersemangat ketika di ajak berbicara tentang spiritualitas.  Rambut nya yang berwarna pirang keemasan  tampak tergerai hingga bahu, terkadang di ikat ke atas agar lebih semangat membahas tentang kearifan lokal dan ritual yang menjadi sumber energi hidup sebuah etnik bangsa.

Penulis berkesempatan mengunjungi rumah nya di desa Canggu, Bali. Tampak rumah sederhana  berwarna kuning dengan latar belakang  hamparan sawah dengan aliran sungai kecil yang selalu terdengar gemericik membuat penghuni atau siapa saja merasa sejuk dan teduh di dalam nya. Cahaya matahari sangat banyak masuk ke dalam rumah, aliran udara ada di mana saja sehingga memiliki kesan bersih dan bebas, sangat menyatu dengan alam.  Belum lagi bila terdengar kicauan burung dan layang layang Bali mengambang di langit, surga untuk istirahat melepaskan penat.

“Berkomunikasi dan bersahabat dengan alam menjadi salah satu bagian dari perjalanan spiritual bertemu dengan Sang Pencipta” ujar nya.  Maka, ia menganjurkan generasi muda memulai kebiasaan kembali mandi di bawah pancuran air alami yang ada di desa desa. “Re-charge and Cleansing,  air dari pancuran alami mengandung energi  melimpah yang dapat di serap oleh tubuh. Jumlah dan serapan energy air ini telah diteliti, jauh lebih besar energi yang di terima dibandingkan bila sesorang mandi melalui air yang dialirkan pipa ledeng  di perumahan ” tegas nya.

Dalam kesempatan lain,  penulis mencoba melakukan “Re-charge and Cleansing” tersebut bersama pemuda di mata air Bah Kayungan, Hapoltakan, Pematang Raya – Simalungun.  Kami duduk bersila dan merasakan air yang jatuh terus menerus melalui kepala, sangat terasa besaran energi mengalir tidak habis habisnya, napas tertahan satu dua, membuat megap untuk menampung nya. Tapi setelah itu, badan kembali lebih kuat dan segar.
“Mengapa energi sangat dibutuhkan ? Mind, Body and Soul membutuhkan kesatuan yang selaras.  Badan yang sehat dengan energi  vitalitas tinggi menjadi sumber bagi tumbuh kembang jiwa” jelas owner perusahaan di bidang clothing tersebut.

Meski ia sudah tinggal di Bali selama 15 tahun, Batarayani Damanik tidak pernah lupa dengan kampung halaman nya, di Sondi Raya, hanya berjarak 5 km dari Pematang Raya, Ibukota Kab. Simalungun.  Ia selalu teringat masa kecilnya dengan  bukit bukit yang menjadi tempat leluhur di Gunung Huluan, mata air jernih dan alami di Bah Kayungan, serta rumah adat leluhur Saragih Dasalak di Sopou Hapoltakan. Ibu nya, Leoni Saragih Dasalak (70 tahun) berkebangsaan Australia sudah memperkenalkan diri nya dengan tanah simalungun sejak dalam kandungan.

Pada masa itu, Leoni Saragih Dasalak sudah melakukan meditasi di tempat leluhur Sopou Hapoltakan. Perjumpaan dengan leluhur yang disebut dengan “Opung Guru” dalam meditasi membawa banyak pesan spiritualitas, tentang sikap dan hakekat hidup simalungun.  “Satu jalan yang tidak bisa saya tempuh, ketika hendak memasuki ruang obat obatan yang di jaga oleh orang yang paling saya benci. Saya tidak mau masuk ke dalam ruang itu.” tambah Leoni. Sebuah ujian spiritualitas bagi nya.

Ayahnya, Almarhum Berlin Ratiman Damanik (putera kelima dari Tuan Madjim Damanik, hasusuran dari Opung Sohadat – Sosiarmangula Damanik Tomok) juga adalah adalah sosok yang kuat dalammenanamkan danmencintai nilai nilai luhur simalungun.
Salah satu nya dengan memperlihatkan keyakinan “Na Si Opung (leluhur)”, di mana setiap hendak mulai melakukan kegiatan dan bekerja selalu menyapa “Na Si Opung” dalam hati, begitu keluar dari pintu rumah sebagai tata cara penghormatan dan keselarasan.

“Jika kita hendak kembali menjalankan ritual simalungun seperti dahulu, esensinya  adalah ucapan terima kasih kepada alam, keseimbangan intuisi batin sebagai upaya keselarasan  dalam menjalankan kegiatan sehari hari.” Ungkapnya.  Hal itu tidak bersebrangan dengan keyakinan agama sebagaimana banyak pandangan negatif yang diberikan orang selama ini. Kebiasaan “Maranggir” (mandi dengan jeruk purut) bagi orang simalungun berdasarkan penelitian, sangat baik dan di anjurkan.  Jeruk purut merupakan antiseptic terbaik,  meningkatkan daya immun bagi tubuh jauh lebih berkhasiat dibandingkan pemberian Vitamin C dan Echinacea, juga sangat baik untuk kesehatan kulit.

Batarayani  Damanik kini mulai banyak melakukan pengkajian tentang tradisi simalungun agar dapat d pahami dalam bahasa logika dan ilmu pengetahuan serta aplikasi hidup sehari hari. Tujuannya agar kekayaan dan kearifan lokal tidak ditinggalakn begitu saja sebab salah tafsir atau salah arti, selalu dianggap sebagai kegaitan klenik atau mistik.

Selama seminggu, ia melakukan perjalanan ziarah spiritual di kampung halaman, Simalungun. Penghormatan pertama pada makam orang tua, generasi leluhur di atasnya, bahkan menyambangi leluhur Batak lain nya seperti Pusuk Buhit – Danau Toba, Rumah Bolon Pematang Purba, Palas Sipitu Ruang Ajinembah.  Bersama spiritualis Bali, Batarayani melakukan gerakan kesadaran budaya. Mereka hendak memperlihatkan kekuatan tradisi nusantara sebagai daya hidup bangsa. Generasi dan trend zaman lebih banyak mengabaikan kekuatan tradisional yang seharus nya menjadi penopang dan penyeimbang hidup. Semoga !!


Sumber : Simalungun Online
Penulis  : Sultan Saragih
Edited    : Pranata Girsang  

Kamis, 08 Mei 2014

SIDUKAP NABURUK, AHLI TANANAMAN OBAT TRADISIONAL SIMALUNGUN

0 komentar
Naik kendaraan roda dua tidak kalah asyiknya menuju rumah Bapa Sidukap Naburuk di Durian Baggal, Sindar Raya. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 1 jam dari kota Siantar menuju Pematang Raya, kita masuk melalui simpang Sondi Raya, melewati desa Siporkas, dengan rute yang cukup menantang. Kondisi jalan memang bagus di Sondi Raya, tetapi setelah melewati dua kampung, kita akan berhadapan dengan jalan berbatu batu serta tanjakan turun naik. Siap siap lah kita tarik perpindahan kecepatan kendaraan roda dua dari porsneling/gigi 1 hingga gigi 2.

Jalan yang sunyi di kelilingi ladang dan hutan, sesekali berpas pas an dengan satu dua pengendara memiliki kesan tersendiri. Jika mengambil waktu pagi hari, pemandangan hutan basah di selimuti kabut yang tak tersentuh oleh manusia tampak mempesona. Matahari sedikit memperlihatkan wajahnya, suhu udara dingin, sejuk dan segar. Melepas lelah di lokasi persawahan yang tidak terlalu luas, tampak bukit menjulang sangat kontras dengan dataran di sekeliling nya. Orang kampung memberi nama bukit tersebut Simarsolpah – Simarsulpit. Menurut cerita orang tua dulu, bukit kembar tersebut dibelah oleh Dewa Petir, tapi ada juga yang mengatakan dongeng lain hasil “buah tangan” Si Ganjang Kateas, manusia raksasa yang menghuni hutan.

Kira kira 1 jam perjalanan, sampai lah kita di rumah Bapa Sidukap Naburuk. Tapi jika kita bertanya kepada orang kampung, di mana rumah Sidukap Naburuk, mereka akan serentak menggeleng gelengkan kepala. Kita tanya saja nama panggilan nya di kampung, Pan Tonggo Damanik, “Oooo….i jai do rumah ni” jawab mereka segera menunjukkan arah yang benar. Sebuah rumah semi permanen dengan halaman yang cukup luas. Di halaman depan depan, ada meja batu gunung besar sebagai tempat duduk di sore hari. Pembibitan tanaman obat tradisional tampak di halaman tengah rumah. Tak urung juga beberapa binatang peliharaan alami pernah hadir seperti monyet, ular, landak, ayam, anjing, kucing dan tokek rumah.

Ketika aku bertanya mengapa memakai nama Sidukap Naburuk, Bapak berambut cepak tersebut menjawab dengan setengah tertawa sambil bergurau bahwa ia tidak ingin terkenal. Baginya, Sidukap Naburuk adalah nama tanaman yang digunakan sebagai obat, kalau diterjemahkan bisa juga berarti menambal dan memperbaiki sesuatu yang buruk. Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan oleh daun tersebut adalah penyakit tumor. Bersama ramuan lain daun Sidukap Naburuk direbus mulai jam 7 pagi terus menerus hingga jam 7 malam, berarti kita harus menunggu selama 12 jam. Aduh !

Ia belajar sejak kecil tentang tanaman obat bersama ayah nya, Raulung Damanik. Pengetahuan yang diajarkan “sambil jalan”, ketika mereka bersama sama memasuki hutan, menyusuri sungai, sambil bermain menuju ladang atau ketika di ajak berburu ke mana saja. Wilayah dengan hutan luas yang harus mereka jaga sebagai hasusuran (keturunan) Tuan Sokkur, hingga mengitari Dolog Simarsolpah. Hubungan emosional mereka sudah seperti layaknya abang adik, atau teman seperjalanan. “Waktu itu aku mengalami sakit di bagian kepala seperti hilang ingatan, salah satu obat nya dengan mengingat sesuatu. Jenis tanaman itu lah yang ku hapal satu demi satu sambil jalan. Kalau sekarang di hitung jumlah nya ada ratusan” tambah nya.

Salah satu keyakinan yang ditanamkan ayahnya bahwa tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Berdasarkan pengalaman bersama ayahnya, jika ia melihat tanaman di sepanjang perjalanan, sebentar saja ia mencicipi daun tanaman sudah dapat mengetahui nama dan fungsi tanaman obat serta memperkirakan dosis yang dapat di pakai untuk menyembuhkan penyakit.

“Bapak mengajarkan cara mengambil tanaman obat di hutan melalui mulut, tidak boleh di petik melalui tangan. Menurut analisa ku, manfaat nya agar tanaman yang diambil masih dalam kondisi steril sebab di ludah banyak enzim “steril” dan tanaman tidak lekas mati.” tambah nya. Kini metode perlakuan tersebut ia rombak, ia meyakini hal yang essensial adalah zat nya. Pelajara lain yang diberikan, ia tidak boleh menghabiskan tanaman obat yang ada di hutan. Mamulung tawar harus menyediakan proses regenerasi tanaman obat sehingga bisa lestari, selain itu diwajibkan mengganti dengan menanam tanaman obat lain di sekitar nya.

Salah satu unsur yang mempercepat proses penyembuhan adalah energi pikiran. Bagi Sidukap Naburuk, pasien hendaknya ikut juga mencari tanaman obat nya di tengah hutan. Jika ia memiliki energi dan pikiran positip dapat sembuh, niscaya akan sembuh dalam waktu yang tidak lama. Ia kemudian menyebutkan beberapa tanaman obat yang sudah langka diantara nya “Andor Porkis Naga” dan “Bulung Bulung Manuhar”.

Ia juga meyakini metode leluhur yang terlebih dahulu melakukan eksperimen penyembuhan kepada hewan. Hasil pengamatan dan penelitian ini kelak di uji coba kan kepada manusia, jika sudah berhasil, rumusan pengobatan alamiah ini lah yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Di sisi lain, Sidukap juga menginginkan ada orang yang ahli untuk melakukan pembibitan tanaman obat di halaman rumah. Sehingga ia tidak perlu harus terus menerus mencari di tengah hutan. Keahlian membudidayakan tanaman obat ini lah yang belum ada. Apalagi ada beberapa jenis tanaman langka yang sulit di pindahkan, biasa nya tidak tumbuh atau lekas mati.

Hal yang paling bahagia bagi diri nya ketika mengetahui putrid nya, Nurmala Damanik yang juga berprofesi sebagai bidan mampu mengenal tanaman obat. Ia sudah bisa meracik da mengatur dosis sendiri untuk berbagai penyakit. Sedangkan anak lelaki nya, Tonggo Damanik yang masih berstatus pelajar selalu ia bawa untuk mengenal tanaman obat di hutan. Harapan nya, mindset negatip masyarakat terhadap tanaman obat warisan leluhur ini dapat di ubah. Ini lah kekayaan tradisional simalungun pada zaman nya dan masih dapat dipergunakan hingga sekarang.

“Kalau orang datang hendak berobat, biasa nya saya coba minta diagnosa dokter, tempat dimana mereka melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Begitu mereka datang ke rumah, racikan sudah saya selesaikan sehari sebelum nya. Mereka pun datang hanya butuh waktu 5 menit, tidak perlu lama lama.” ujar nya bersemangat. Menutup pembicaraan, ia bercita cita membuat Hutan Wisata dan Hutan Tanaman Obat di Sokkur, Sindar Raya. Konsep jelajah alam yang unik melalui alur sungai, air terjun, goa leluhur, kuburan batu kuno, serta melihat beragam tanaman obat serta landscape Simarsolpah menjadi sebuah paket potensi wisata yang menarik. Ia akan memperjuangkan nya demi leluhur Nagur. Tabik !!

Sumber : Simalungun Online
Penulis  : Sultan Saragih
Edited    : Pranata Girsang 

Asal – Usul Batak Simalungun

0 komentar

Logo Simalungun



Batak Simalungun

Suku Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu suku asli dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.

Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku “Si Balungu” dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karomenyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.


Asal-usul

Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luarIndonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
  1. Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Rajadinasti Damanik.
  2. Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragihmenceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.

Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwaParpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputiGayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.


 Kehidupan masyarakat Simalungun

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padidan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. “Marga” memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.


Bahasa & Aksara

Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun:hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Ini. Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.


Kepercayaan

Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), danNaibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam).

3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.


Harungguan Bolon

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronimSISADAPUR yaitu:
  • Sinaga
  • Saragih
  • Damanik
  • Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keempat raja itu adalah:
1.      Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
2.      Raja Banua Sobou bermarga Saragih.
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
3.      Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
4.      Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.


Marga-marga perbauran

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.


Perkerabatan Simalungun

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentupartuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham(dari mana asal-usul anda)?”
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).

Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut: 
 
  • Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

  • Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun.

  • Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.


Pakaian Adat


Contoh Pakaian Adat batak Simalungun
  

Kain Adat Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong, penutup kepala wanita disebut Bulang, sedangkan yang kain yang disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.

Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung “kekuatan” yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.

Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan “mambere hiou” (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain.

Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).

Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

About Me

0 komentar

Ini orangnya yang punya blog
Ini orangnya yang punya blog


Perkenalkan nama saya adalah Pranata Ghierzhank atau lengkapnya Jhody Sonli Pranata Girsang yang lahir di desa Situri-turi, Saribudolok Kabupaten Simalungun. Pertama saya mengawali pendidikan di SD Inpres Situri-Turi dan melanjut ke SMP  Bunda Mulia Saribu Dolok, setelah tamat dari SMP  Bunda Mulia Saribu Dolok saya melanjut ke SMK Immanuel Medan. Dan saat ini saya melanjutkan perkuliahan di salah satu perguruan tinggi di Kota Medan yaitu STIE-STMIK IBBI Medan dengan menekuni Jurusan Teknik Informatika S1.

Tujuan saya membuat blog ini adalah karena ingin melestarikan budaya Batak Simalungun (kayak hutan aja heheh) yang mulai termakan oleh zaman modern. Saya sadar bahwa blog ini masih baru dan jauh dari kata sempurna dan tentu saya masih butuh saran dan bantuan dari para pembaca dan pengunjung demi membuat blog ini lebih baik lagi.

Sebelum saya akhiri perkenalan ini izinkan saya mengucapkan maaf sebesar-besarnya jika ada salah kata karena itu tak luput dari saya seorang manusia yang tidak sempurna.


Terima Kasih ...    Horas Simalungun “Salam HABONARON DO BONA”


Followers

 

Simalungun HABONARON DO BONA . Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com