 |
Logo Simalungun |
Batak Simalungun
Suku
Simalungun atau
juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu suku asli
dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap
di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan
bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang
sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk
Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan
Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga
besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut
suku ini sebagai suku “Si Balungu” dari legenda hantu yang menimbulkan wabah
penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karomenyebutnya Timur karena
bertempat di sebelah timur mereka.
Asal-usul
Terdapat
berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar
menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luarIndonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
- Gelombang pertama (Simalungun
Proto ),
diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India
Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar,
ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke
Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Rajadinasti Damanik.
- Gelombang kedua (Simalungun
Deutero),
datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga
dengan suku asli Simalungun.
Pada
gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragihmenceritakan
bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam
dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat,
daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka
didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau
Toba dan Samosir.
Pustaha
Parpandanan Na Bolag (pustaka
Simalungun kuno) mengisahkan bahwaParpandanan Na Bolag (cikal bakal
daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya
bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputiGayo dan Alas di Aceh
hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Kini, di Kabupaten Simalungun
sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di
daerah Simalungun Atas.
Kehidupan
masyarakat Simalungun
Sistem mata
pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam
dengan padidan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari
dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli
diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. “Marga”
memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika
dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah
jauh berbeda.
Bahasa &
Aksara
Suku
Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun:hata/sahap
Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di
sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa
Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak sebagian besar
disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG
yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Ini. Aksara yang digunakan suku
Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.
Kepercayaan
Bila
diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang
berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” (dukun) disertai
persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada
Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di
atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah
(dilambangkan dengan warna Merah), danNaibata di bawah
(dilambangkan dengan warna Hitam).
3 warna yang
mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai
ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang
Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi
dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai
benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut
harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot.
Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga
mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.
Harungguan
Bolon
Terdapat empat
marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronimSISADAPUR yaitu:
- Sinaga
- Saragih
- Damanik
- Purba
Keempat
marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan
besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan
(marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja
itu adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam
bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat,
berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
2. Raja Banua
Sobou bermarga Saragih.
Saragih dalam bahasa Simalungun
berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti
atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik
aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur,
pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
4. Raja Saniang Naga bermarga
Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga
dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Marga-marga
perbauran
Perbauran
suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi,
Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Selain itu ada juga
marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan
dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung,
Butar-butar dan Sirait.
Perkerabatan
Simalungun
Orang
Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentupartuturan (perkerabatan)
di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang)
dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja
adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun
bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda)
tetapi “hunja do hasusuran ni ham(dari mana asal-usul anda)?”
Hal ini
dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini
Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya,
Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).
Sebagian
sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja
Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep
perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri
raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan
Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang,
Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba
dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun
Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan.
Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon),
dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:
Perkerabatan yang langsung terkait
dengan diri sendiri.
- Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa
terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun.
- Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai
pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.
Pakaian Adat
 |
Contoh Pakaian Adat batak Simalungun |
Kain Adat Simalungun disebut Hiou.
Penutup kepala lelaki disebut Gotong, penutup kepala wanita disebut Bulang,
sedangkan yang kain yang disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.Sama
seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak
terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo).
Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut
Hiou dengan berbagai ornamennya.
Ulos pada
mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung “kekuatan” yang bersifat
religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk
memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku
bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di
perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain
dan ulosnya.
Secara
legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia
(selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber
kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti
matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun
Batak, Simalungun memiliki kebiasaan “mambere hiou” (memberikan ulos) yang
salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima Hiou. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup
kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung
dan lain-lain.
Hiou dalam
berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda,
misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan
bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai
pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun
juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan,
yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup
bagian bawah (abit).
Menurut
Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria
Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk
upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba
Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu
berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar
Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong
berbentuk Tengkuluk Batik.